Minggu, 17 Januari 2016

BUDAYA BANYUMASAN


Banyumas merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai adat atau kebudayaan yang beragam,baik budaya kuliner,budaya pakaian,dan budaya yg timbul dari kebiasaan masyarakat.Budaya kuliner diantaranya:mendoan,pecel,getuk goreng dll.Budaya pakaian yaitu batik banyumasan.dan budaya yg timbul dari kebiasaan masyarakat antara lain:Lengger,begalan,musik kenthongan,Ebeg(kuda lumping)dll.


  • BUDAYA KULINER BANYUMASAN

Kuliner Banyumas sangat beragam dan sangat terkenal,kuliner Banyumas muncul dari resep2 dari masyarakat Banyumas pada zaman dulu.Di Kabupaten Banyumas kuliner ini banyak dijual dan dijadikan oleh2 khas Banyumas,diantaranya mendhoan dan getuk goreng.

A.  MENDHOAN

Mendhoan, itulah nama dari tempe yang ukurannya lebih lebar dari ukuran tempe pada umumnya. Makanan yang terbuat dari fermentasi kedelai ini berasal dari Banyumas, Jawa Tengah. Cara membuatnya sama dengan tempe biasa hanya saja ukurannya lebih lebar dan lebih tipis.
Di daerah Purwokerto,Banyumas, banyak sekali penjual makanan ini, baik yang matang maupun yang masih mentah. Untuk yang masih mentah biasanya dikemas dalam wadah yang terbuat dari anyaman bambu atau biasa disebut “besek”. Harga untuk satu besek yang berisi 20 tersebut kira-kira Rp. 20.000 rupiah. Di dalam besek tersebut sudah disertakan tepung berbumbu dan sebotol sambal kecap. Kita tinggal mencampur tempe dengan tepung tersebut dan tidak perlu membuat bumbu sendiri. Agar lebih nikmat, mendoan yang sudah digoreng dimakan saat hangat dengan ditemani cabai atau sambal kecap dan secangkir kopi atau teh panas.
Di pusat oleh-oleh khas Banyumas di daerah Sawangan,Purwokerto dan Sokaraja banyak sekali yang menjual makanan ini,di daerah Baturaden pun tak jarang di temui penjual Mendhoan.Selama masih berada di wilayah Banyumas,tidaklah sulit untuk menjumpai mendhoan yang benar-benar mendhoan.

B.  GETHUK GORENG
Saya yang terlahir sebagai anak yang berasal dari kota yang mempunyai makanan khas seperti Mendoan dan Gethuk Goreng harus bangga.Yogyakarta boleh punya bakpia, Semarang punya lumpia, tapi Sokaraja punya getuk goreng. Sokaraja merupakan kota kecil yang  terletak sekitar 7 km timur Kota Purwokerto, kabupaten Banyumas.  Kota yang masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Banyumasan atau ngapak ini memang dikenal sebagai pusat oleh-oleh getuk goreng. Bagi anda yang pernah melewati jalur utama selatan Jakarta-Bandung-Jogjakarta-Wonosobo anda akan menjumpai toko-toko yang berjajar di sepanjang jalan.  Salah satu kawasan yang menjadi pusat oleh – oleh ada di disepanjang Jl. Jenderal Sudirman Sokaraja. 
Biasanya saat musim liburan sekolah, tahun baru, natal dan menjelang atau sesudah lebaran, kawasan ini ramai dipadati wisatawan yang ingin membeli getuk goreng sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan teman. Getuk goreng memang cocok untuk oleh-oleh karena dapat disimpan atau bertahan hingga sepuluh hari.
Gethuk Goreng Sokaraja ini dipelopori oleh Almarhum Sanpirngad pada tahun 1918. Gethuk Goreng ini dibuat dari singkong. Cara membuatnya sangatlah mudah. Singkong yang gembur ( kalau dimasak akan menjadi mekar ) di cuci dan dikukus sampai matang, lalu kemudian ditumbuk halus dengan dicampur gula jawa, parutan kelapa, garam, dan vanili sampai rata. Setelah itu dibentuk kecil – kecil lalu dicelupkan ke dalam adonan beras atau terigu dan ditambahkan sedikit garam lalu digoreng dengan minyak kelapa. Gethuk yang sudah jadi akan dibungkus di dalam pithi ( kemasan dari anyaman bambu ).
Bahan:
  1. 1 kg Singkong, kupas dan buang sabut tengahnya.
  2. 250 gr gula jawa, iris halus
  3. 75 gr tepung beras
  4. 1 sdm terigu
  5. Garam
  6. minyak goreng
Cara membuatnya:
  1. Potong-potong singkong dan rebus atau kukus hingga masak.
  2. Gula jawa dengan sedikit air direbus hingga lumat dan tercampur rata.
  3. Panas-panas lumatkan singkong dan beri gula sedikit demi sedikit hingga tercampur rata.
  4. Ratakan singkong di atas nampan, setebal 2 cm dan potong-potong kotak 4 x 5 cm
  5. Campur tepung beras, terigu, garam, dan air secukupnya hingga menjadi adonan yang agak kental.
  6. Panaskan minyak dan celupkan getuk ke adonan terigu sebelum digoreng.
  7. Goreng hingga kekuningan dan angkat.

Sumber resep: Bisnis UKM
Posting: Diambil dari wordpress.com


  • BUDAYA BANYUMAS YG BERASAL DARI KEBIASAAN MASYARAKAT 


Seni dan Budaya khas Banyumasan tumbuh dan berkembang seusia dengan peradaban Jawa Kuna.
Budaya Banyumasan juga diperkaya dengan masuknya gaya budaya Mataram (Yogya-Solo) dan kini mulai disisipi pernik-pernik kontemporer. Dari budaya Banyumasan ini lahir bentuk-bentuk kesenian tradisional yang juga berkarakter Banyumasan seperti ebeglengger-calungwayang kulit gagrak Banyumasangendhing Banyumasanbegalan,musik kenthongan dll.Beberapa kesenian/kebudayaan banyumasan ini tumbuh karena adat istiadat/kebiasaan mayarakat banyumas pada zaman dahulu dan samapai sekarang masih dijaga keutuhan serta kelestarianya,agar tidak hilang seiring perubahan waktu.

A.  Ebeg


Ebeg' adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah Banyumasan. Varian lain dari jenis kesenian ini di daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada juga yang menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur) namun di wilayah Kecamatan Tambak (Wilayah Kabupaten Banyumas bagian selatan) lebih dikenal dengan nama "ebleg". Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan. Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi dengan bunyi kerincingan. Jumlah penari ebeg 8 oarang atau lebih, dua orang berperan sebagai penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan 16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan penthul-tembem memakai topeng. Tarian ebeg termasuk jenis tari massal, pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran yang cukup luas seperti lapangan atau pelataran/halaman rumah yang cukup luas. Waktu pertunjukan umumnya siang hari dengan durasi antara 1 – 4 jam. Peralatan untuk Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Selain peralatan Gendhing dan tari, ada juga ubarampe (sesaji) yang mesti disediakan berupa : bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda (dewegan),jajanan pasar,dll. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik,gudrilblendronglung gadung,eling-eling,( crebonan), dan lain-lain. Yang unik, disaat pagelaran, saat trans (kerasukan/mendem) para pemainnya biasa memakan pecahan kaca (beling) atau barang tajam lainnya, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, dhedek (katul), bara api, dll. sehingga menunjukkan kekuatannya Satria, demikian pula pemain yang manaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Dalam pertunjukannya, ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe.



B.  Lengger-Calung


Kesenian tradisional lengger-calung tumbuh dan berkembang di wilayah ini. Sesuai namanya, tarian lengger-calung terdiri dari lengger (penari) dan calung (gamelan bambu), gerakan tariannya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama calung. Diantara gerakan khas tarian lengger antara lain gerakan geyol, gedheg dan lempar sampur.

Dulu penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan suasana, badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah penari lengger antara 2 sampai 4 orang, mereka harus berdandan sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga terlihat sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai sinden. Satu grup calung minimal memerlukan 7 orang anggota terdiri dari penabuh gamelan dan penari/lengger.

C.  Wayang Kulit Gagrag Banyumasan


Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, masyarakat Banyumasan juga gemar menonton pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit di wilayah Banyumas lebih cenderung mengikuti pedalangan “gagrag” atau gaya pedalangan khas Banyumasan. Seni pedalangan gagrag Banyumasan sebenarnya mirip gaya Yogya-Solo bercampur Kedu baik dalam hal cerita, suluk maupun sabetannya, bahasa yang dipergunakanpun tetap mengikuti bahasa pedalangan layaknya, hanya bahasa para punakawan diucapkan dengan bahasa Banyumasan. Nama-nama tokoh wayang umumnya sama, hanya beberapa nama tokoh yang berbeda seperti Bagong (Solo) menjadi Bawor atau Carub. Menurut model Yogya-Solo, Bagong merupakan putra bungsu Ki Semar, dalam versi Banyumas menjadi anak tertua. Tokoh Bawor adalah maskotnya masyarakat Banyumas.
Ciri utama dari wayang kulit gagrag Banyumasan adalah nafas kerakyatannya yang begitu kental dan Ki Dalang memang berupaya menampilkan realitas dinamika kehidupan yang ada di masyarakat. Tokoh pedalangan untuk Wayang Kulit Gagrag Banyumasan yang terkenal saat ini antara lain Ki Sugito Purbacarito, Ki Sugino Siswacarito, Ki Suwarjono dan lain-lain.


D.  Gending Banyumasan

Gending khas lagu-lagu Banyumasan sangat mewarnai berbagai kesenian tradisional Banyumasan, bahkan dapat dikatakan menjadi ciri khasnya, apalagi dengan berbagai hasil kreasi barunya yang mampu menampilkan irama Banyumasan serta dialek Banyumasan. Ciri-ciri khas lainnya antara lain mengandung parikan yaitu semacam pantun berisi sindiran jenaka, iramanya yang lebih dinamis dibanding irama Yogya-Solo bahkan lebih mendekati irama Sunda. Isi-isi syairnya umumnya mengandung nasihat, humor, menggambarkan keadaan daerah Banyumas serta berisi kritik-kritik sosial kemasyarakatan. Lagu-lagu gending Banyumasan dapat dimainkan dengan gamelan biasa maupun gamelan calung bambu. Seperti irama gending Jawa pada umumnya, irama gending Banyumasan mengenal juga laras slendro dan pelog.

E.  Begalan


Begalan adalah jenis kesenian yang biasanya dipentaskan dalam rangkaian upacara perkawinan yaitu saat calon pengantin pria beserta rombongannya memasuki pelataran rumah pengantin wanita. Disebut begalan karena atraksi ini mirip perampokan yang dalam bahasa Jawa disebut begal. Yang menarik adalah dialog-dialog antara yang dibegal dengan sipembegal biasanya berisi kritikan dan petuah bagi calon pengantin dan disampaikan dengan gaya yang jenaka penuh humor. Upacara ini diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung. Begalan merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan iringan gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat pada patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras dengan irama gending. Jumlah penari 2 orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang (peralatan dapur), seorang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok. Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, ian, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan wangkring. Barang bawaan ini biasa disebut brenong kepang. Pembegal biasanya membawa pedang kayu. Kostum pemain cukup sederhana, umumnya mereka mengenakan busana Jawa. Dialog yang disampaikan kedua pemain berupa bahasa lambang yang diterjemahkan dari nama-nama jenis barang yang dibawa, contohnya ilir yaitu kipas anyaman bambu diartikan sebagai peringatan bagi suami-isteri untuk membedakan baik buruk. Centhing, tempat nasi artinya bahwa hidup itu memerlukan wadah yang memiliki tatanan tertentu jadi tidak boleh berbuat semau-maunya sendiri. Kukusan adalah alat memasak atau menanak nasi, ini melambangkan bahwa setelah berumah tangga cara berpikirnya harus masak/matang. Selain menikmati kebolehan atraksi tari begalan dan irama gending, penonton juga disuguhi dialog-dialog menarik yang penuh humor. Biasanya usai pertunjukan, barang-barang yang dipikul diperebutkan para penonton. Sayangnya pertunjukan begalan ini tidak boleh dipentaskan terlalu lama karena masih termasuk dalam rangkaian panjang upacara pengantin.

F.  MUSIK KENTHONGAN 


Musik kenthongan di Banyumas telah lahir dan berkembang menjadi musik yang begitu atraktif dan bergairah. Setiap grup dapat menampilkan kreativitasnya masing-masing secara bebas, tanpa aturan-aturan baku yang mengekang kreativitas. Kebebasan kreativitas inilah yang menjadi salah satu daya tarik dari musik ini. Setiap grup bisa menyederhanakan atau merumitkan teknik permainan musik sesuai dengan kemampuan dan keinginan mereka. Musik kenthongan di Banyumas sebenarnya sudah dapat dijumpai pada awal dekade tahun 1970-an. Di wilayah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas (kurang lebih 10 km di sebelah barat Kota Purwokerto) dijumpai ada sekelompok masyarakat yang mengembangkan kenthongan menjadi semacam perangkat musik. Caranya adalah membuat alat kenthongan dalam jumlah banyak kemudian ditabuh bersama-sama. Pada waktu itu ada yang mencoba memasukkan alat musik mirip dengan angklung yang cara membunyikannya adalah dengan memukul bilah-bilah nada di dalamnya. Selanjutnya jadilah aransemen musikal dari alat kenthongan yang dilengkapi dengan alat musik mirip angklung.

WAYANG WONG

Wayang wong utawi Wayang uwong menika salah satunggalipun jenis teater tradhisional Jawa. Wayang Wong menika gabungan antawisipun seni drama ingkang ngrembaka ing negeri kilen (Eropa) kaliyan seni pagelaran wayang ingkang ngrembaka ing pulo Jawa. Lakon wayang ingkang dipungelar menika saking crita-crita wayang purwa. Wayang uwong utaminipun ngrembaka ing kraton lan golongan priyayi utawi bangsawan. Miturut nami wayang kasebut, wayang wong ugo boten dipagelarke dening boneka-boneka wayang, anamung manungsa-manungsa ingkang ngganteni boneka-boneka wayang kasebut. Wong kang mainake wayang iki ugo ngagem pakaian ingkang sami kalian hiasan-hiasan ingkang diagem wayang kulit. Pasuryan para pemain wayang wong iki ugo diubah lan dihias supados mirip kalian aslinipun.

Miturut dinas pariwisata Kotamadya Dati II Surakarta, wayang wong lair ing abad XVIII. Ingkang nyiptakaken inggih menika Mangkunegara I ingkang kadosipun dipunilhami saking seni drama ingkang ngrembaka ing negeri kilén. Wiwitanipun wayang wong dipungelar ing Surakarta, lajeng dipungelar ing Yogyakarta. Wekdal sasi April 1868, nalikanipun Mangkunegara IV ngawontenaken khitanan putranipun ingkang asma Prangwadana lan Mangkunegara V wayang wong dipunsempurnakaken utaminipun bab pakéan lan pirantinipun. Ing taun 1899, Pakubuwana X mbangun taman Sriwedari. Wonten ing peresmianipun ngawontenaken pagelaran kesenian. Salah setunggalipun inggih menika wayang wong. 

Wiwitanipun wayang wong menika seni tradhisional Jawa ingkang ekslusif, namung dipungelar ing keraton. Ing taun 1902 wonten wayang wong ingkang ngrembaka urip komersial, kanthi nyadé karcis. Wayang wong komersial ngrembaka lan puncakipun nalika wonten pakempalan "Ngesti Pandowo" ingkang dipunpandegani dening Sastrosabdo. Miturut Winter lan Sastramiruda, wayang wong menika wiwitanipun dipungelar ing abad XVIII (±1760 M.), ingkang dipunpandegani dening Mangkunegara I. Wekdal menika ingkang dipungelar namung lakon-lakon wayang purwa. Sasampunipun menika pagelaran wayang wong wiwit boten subur, ananging ten Yogyakarta taksih wonten pagelaran wayang wong ngantos taun 1881. Kanthi pambiyantunipun Mangkunegara V, wayang wong ngrembaka malih nanging taksih winates ing Yogyakarta lan Surakarta kemawon.




Pranyata kesenian wayang wong pikantuk sambutan ingkang saé saking masyarakat, lajeng tuwuh kathah pakempalan wayang wong. Wiwitanipun taksih amatir, dangunipun dados profesional. Pakempalan wayang wong ingkang moncér, kados Wayang Wong Sriwedari saking Surakarta lan Ngesti Pandawa saking Semarang. Wayang wong Sriwedari nggadhahi jasa ingkang ageng, inggih menika ndherék nglestarékaken budaya bangsa, kados seni wayang wong, seni tari, seni busana, lan seni karawitan. Wiwitanipun ageman para penari wayang wong taksih prasaja kemawon, boten bénten kaliyan ageman adat keraton ingkang dipunagem ing saben dintenipun. Nembé ing jaman Mangkunegara VI (1881-1896), penari wayang wong nganggé irah-irahan ingkang kadamel saking kulit ingkang dipuntatah kanthi saé. Wonten ing pagelaran wayang wong, sandiwara kang diselingi tetembangan jawa, dipagelarken lan diiringi gamelan. Tema carita wonen ing pagelaran wayang wong menika biasane ngandut saka cerita legenda utawi sejarah jawi. Ugo katah ingkang ngandut saking cerita Ramayana lan Mahabarata.


Sumber :
https://jv.wikipedia.org/wiki/Wayang_wong

CONTOH NASKAH PRANATACARA ADAT PERNIKAHAN

Nuwun, kulanuwun. Panjenenganipun para pepundhen, para sesepuh, para pinisepuh ingkang hanggung mastuti dhumateng pepayoning kautamen, ingkang pantes pinundhi-pundhi saha kinabekten. Punapa dene panjenenganipun para tamu kakung sumawana putri ingkang dahat kalingga murdaning akrami.
     Nyuwun panagapunten, dene kula cumanthaka sowan mangarsa,  hanggempil kamardikan panjenengan ingkang katemben wawan pangandikan. Kula piniji hanjejeri minangka pangendaliwara keparenga hambuka wiwaraning suka wenganing wicara dwaraning kandha, saperlu mratitisaken murih rancaking titilaksana adicara pawiwawahan prasaja ing ratri kalenggahan punika.
     Sumangga kula derekaken sesarengan manungkul puja-puji-santhi wonten ngarsaning Gusti Ingkang Maha Suci, ingkang sampun kepareng paring rahmat lan nikmat gumelaring alam agesang wonten madyaning bebrayanagung.  Katitik rahayu sagung dumadi tansah kajiwa kasalira dhumateng panjenengan sadaya dalasan kawula, saengga kita saged hanglonggaraken penggalih hamenakaken wanci sarta kaperluan,  rawuh kempal manunggal ing pawiwahan punika, saperlu hanjenengi sarta paring berkah pangestu dhumateng Bapa …(Doso DH)…. sakulawangsa anggenipun hanetepi dharmaning sepuh hangrakit sekar cepaka mulya, hamiwaha putra mahargya siwi, tetepa winengku ing suka basuki.
     Para tamu kakung sumawana putri, wondene menggah reroncening tata adicara ingkang sampun rinancang rinacik rinumpaka dening para kulawangsa nun inggih:

1. Eko laksitagati,  purwakaning pahargyan inggih sowanipun putra temanten putri mijil saking tepas wangi manjing ing madyaning sasana rinengga
2. Dwi laksitagati,  rawuh lan  jengkaripun putra temanten kakung tumuju dhateng madyaning sasana wiwaha
3. Tri laksitagati,  pasrah-pinampi putra temanten kakung
4. Catur laksitagati,  dhaup panggihing putra temanten anut satata-ning  adat widhiwadana ingkang sampun sinengker, tumunten kalajengaken upacara krobongan
5. Panca laksitagati,  nderek mangayuhbagya-nipun kadang besan dhateng ingkang hamengku gati ing sasana wiwaha, tumunten kalajengaken upacara sungkem
6. Sad laksitagati,  atur pangbagyaharjo panjenenganipun ingkang hamengku gati katur sagung para tamu
7. Sapta laksitagati,  lengseripun temanten sarimbit saking madyaning sasana wiwaha manjing ing sasana busana, saperlu rucat busana kanarendran santun busana ksatrian
8. Hasta laksitagati , sowan malihipun temanten sarimbit ngabyantara para tamu saperlu nyenyadhong pudyastawa murih widadaning bebrayan
9. Nawa laksitagati,  paripurnaning pahargyan inggih jengkaripun temanten sarimbit saking madyaning sasana rinengga tumuju dhateng wiwaraning pawiwahan.

     Mekaten menggah reroncening tata adicara pawiwahan ing ratri kalenggahan punika. Salajengipun, keparenga para tamu pinarak wonten ing palenggahan kanthi mardu-mardikaning penggalih, miwah kawula derekaken hanyrantos tumapaking tata adicara sinambi nglaras rarasing gending2 jawi. Nuwun, nuwun, matur nuwun.

PRANATACARA

Paugeraning pranatacara adicara lan pamedhar sabda

      Pranatacara ingkang asring disebat Master Of Ceremony ( MC ), pambiwara, pranata adicara, pranata titilaksana, pambyawara, utawi pranata laksitaning adicara, inttih punika paraga ingkang tinanggenah nata cara utawi acara, ingkang bakunipun, ayahanipun inggih punika nglantaraken cak-cakanipun acara utawi adicara wonten ing pepanggihan, pasamuan upacara ingkang sampun rinantam.
      Pranatacara nyepeng peranan ingkang ageng, dados punjering kawigatosan, amargi regeng, rancak, nges lan mbotenipun satunggaling adicara saperangan ageng dados tanggel jawabipun pranatacara. Saksinteno kemawon para paraga ingkang magepokan kaliyan lampahing adicara utawi pawiwahan mboten saged tumindak piyambak-piyambak menawi dereng wonten atur saking pranatacara.
    Sakjatosipun, pakaryan pranatacara mekaten sanes satunggaling pakaryan ingkang awrat / angel, awit saksintena mawon priyantun ingkang mboten nandhang tuna wicara utawi ingkang kedaling lesan mboten cetho, tamtu saged ninda’aken pakaryan pranatacara kasebat. Ananging ingkang kathah sami ajrih dhumateng tuna dungkaping basa.
       Ananging babagan punika mboten ndadosaken pepalang, amargi basa mekaten kathah sanget pacopanipun, pramila setunggal lan sanesipun priyantun saged ngginakaken basa ingkang pundi kemawon, jer leres pikajengipun cak-cakanipun, saha gampil kasuraos dening saksintena ingkang sami midhangetaken.
     Amrih jejibahan saged kasil kanthi sae, pranatacara saha pamedhar sabda kedah saged ngrengkuh sarat sarana ingkang baku, inggih punika :
  •  Swara

    Kedaling lathi kedah kagladhi, supados saged langkung cetha medaling suwanten, pranatacara saha pamedhar sabda kedah saged mapanaken utawi ngginakaken swanten ingkang awrat, cekapan, utawi inggil trep kaliyan swanten iringaning gendhing ( menawi wonten ).
     Pangolahing swanten kedah wajar, cetha, tegas mboten ketawis sanget menawi kaolah ( dipun damel-damel ). Ing babagan swanten meniko, pranatacara saha pamedhar sabda kedah wigatos dhateng swaraning aksara swara ( ucapan ), langkung-langkung beda-beda mingsad-mingsudipun ing tembung lingga saha tembung andhahan.
       Wirama ( lagu ) ugi kedah kagladhi kanthi saestu supados sekeca kamirengaken, kados pundhi rindhik rikatipun, mandhap minggahipun, sampun ngantos kasesa, ananging ugi sampun ngantos nglentrek sanget. Gladhi olah swara punika kedah pikantuk kawigatosan ingkang mirungga, amargi punika dados satunggaling sarat baku kagem pranatacara saha pamedhar sabda.
  •  Busana ( Ageman )

     Ajining raga gumantung busana, mila babagan busana punika ugi kedah pun gladhi saengga jejibahan pranatacara saha pamedhar sabda saged kalaksanakaken kanthi sae.Anggenipun ngadi busana kedah kajumbuhna kaliyan kaperluan wonten ing upacar punapa ingkang badhe dipun ayahi.
      Jejering pranatacar saha pamedhar sabda saged katingal ngrengreng menawi karengga swanten, raga lan busana ingkang pantes.Pangudining busana saged ngetrepaken kaliyan rupi utawin wernining busana kaliyan kulit, sareng make up, saengga katingal pantes kaliyan papan panggenan, mboten nyolok tuwin samadya kemawon.
      Wonten ing babagan mangagem busana ( ageman ) punika, saestu sae sabda pangandikan kanjeng suhunan Pakowboewana IV ingkang sampun panjenenganipun kanjeng susuhunan sabdaaken dhumateng para sentana saha karabat keratin kasunanan Surakarta Hadiningrat, inggih punika :
“ Nyandhang menganggo iku dadiya sarana hamemangun manungsa njaba njero, marmane pantesen panganggonira, trapna traping panganggon, chundukna marang kahananing badanira, wujud lan wernane jumbuhna kalawan dedeg piadeg miwah pakulitan..”
( Menggunakan Pakian itu harus jadi sarana membangun pribadi seseorang lahir dan bathin, jadi harus sesuaikanlah pakianmu, serasikan dengan keadaan, sesuaikan dengan bentuk badan waran pakaian, pilihlah yang sesuai dengan postur tubuh serta warna kulit )
     Pramila babagan busana punika kedah pun gladhi ingkang sasae-saenipun dening pranatacara saha pamedhar sabda, amrih sae kasilipun tumrap sadayanipun, langkung sae ugi kagem para pranatacara saha pamedhar sabda ing sak derengipun ngayahi jejibahan dados pranatacara saha pamedhar sabda, busana punika saenipun kedah dipun rembag kaliyan panitya, amrih hasil ingkang dipun kajadaken sae wontenipun.
  • Subasita ( Trapsila )

      Trapsila ( tata krami ) kedah pun gladhi ingkang sae, amargi trapsila ingkang kirang, sagd ngirangi kawibawanipun pranatacara saha pamedhar sabda.Solah bawa sampun ngantos kadamel-damel ( katingal dening ing asanes utawi mboten ) langkung sae bilih solah bawanipun prasaja kemawon, anteng, manteb ananging mboten kaken ( kaku ).
      Ewah-ewahanipun pasuryan ugi kedah kaudi ingkang sadaya wau sageda nggambaraken isining penggalih, ingkang lajeng jumbuh kaliyan swasana, sapertos, bilih wonten ing pawiwahan saha pahargyan, pasuryan binger sumringah lan ramah awit prastawa menika ngemu suraos suka, kabagyan, saha kabingahan.
      Wondene wonten ing sripah, pasuryan kedah mboten katingal binger sumringah, amargi punika tamtu mboten jumbuh kaliyan swasana saha raos manah kulawarga ingkang nembe nandang duka sungkawa.
  •  Basa lan sastra

      Basa lan sastra ngawujudaken kabetahan ingkang baku tumrapipun priyantun ingkang nembe ngayahi tugas dados pranatacara saha pamedhar sabda. Basa ingkang kaginakaken kedah miturut tuntutaning sastra ingkang leres, pamilihing tembung ingkang lajeng dipun ronce dados ukara kedah trep, luwes, sae, wusana sekeca kapireng ing asanes.Kanthi pangertosan ingkang sae babagan basa tuwin sastra, pranatacara saha pamedhar sabda saged ndapuk mocap, tembung , ukara saha wacana kanthi leres tuwin laras.
Laras : tegesipun pranatacara saha pamedhar sabda saged ngrantam  saha mbabar titilaksana trep kaliyan kawontenan saha swasana.
Leres  : tegesipun pranatacara saha pamedhar sabda saged ngginakaken basa ingkang trep kaliyan parasastranipun.
      Ingkang menika pranatacara saha pamedhar sabda saged lumebet ing pawiyatan utawi saged maos piyambak buku-buku ingkang ngemot kawruh paramasastra kasebat.
  •  Ancer – ancer pakaryan pranatacara saha pamedhar sabda.

      Supados saged pikantuk kasil pakaryan ingkang sae, kedah kagungan pathokan-pathokan kangge nindakaken pakaryan pranatacara saha pamedhar sabda punika.
Pathokan-pathokan wau inggih punika :
  1. Ing babagan basa, mugi kaginakaken basa ingkang trapsila, wijang prasaja ananging gampil katampi dening para tamu ( ingkang midangetaken ) sarta sekeca kapiarsa.
  2. Tanggap ing kawontenan, supados pahargyan saged regeng.
  3. Mangertosi rantaman-rantaman badhe tumapaking adicara kanthi permati, sarta kedah tanggap ing kawontenan.
  4. Mangertos asma-asma para paraga ing saklebeting pawiwahan kanthi jangkep sak imbuhanipun.
  5. Tansah sesambetan kaliyan kadang pranata pita swara, supados nyamektakaken gendhing-gendhing ingkang jumbuh kaliyan lelampahaning adicara.
  6. Tansah sesambetan kaliyan poranparaning pawiwahan ( ketua panitia ) supados enggal mangertosi mbok bilih wonten ewah-ewahan adicara.
  7. Trengginas mutusaken samukawis murih pawiwahan mboten katingal kisruh.

SUMINTEN EDAN


I.Cem : nggih manga, sinten nggih mikiI.SG : niki kula ibune surogentho ajeng badhe matur menawa cempluk badhe daupaken kalianputra kula nikiI.cem : hah koe ra nglawak to? Anakku sing ayu moblong moblong kui rep di jodohke karo cahelik iki? Wah ora sudiI.SG : welah wani-wanine koe ngarakke putraku elek, jan wong kurang ajar
…….
 Lebar ketemu cempluk kae, broto ngrasa kasmaran marang cempluk, semana uga cempluk anyakseneng marang broto lan broto arep ndadekake cempluk bojoneBr : dek cah ayu, sanyatane aku tresno sliramu awit kita ketemu, menawa koe tak dadekakebojoku, opo koe gelem?Cemp : inggih kangmas, kula uga tresna kalian njenengan
……
 Ing panggonan liya salebare ngalahake suragentho, warok siman lunga menyang trenggalek,bupati trenggalek banjur weneh hadiah bakal njodohake putrane yaiku raden mas subroto karoansuminten putrine warok simanWS : kanjeng bupati, kula sampun ngalahaken suragentho, miturut kalian sayembara punika, napaingkang dados hadiah?RNK : Amarga sliramu wis ngalahake suragentho, aku bakal njodohake putraku ambi putrimuWS : saestu kanjeng? (raut tidak percaya)RNK : iya, saiki cepakno ubarampene kanggo nikahane putrane awake deweWS : inggih kanjengWarok siman banjur nyepakake pesta kanggo putrine Suminten,
 
WS : nduk sum, aku due kabar apikSum : napa pak?WS : iki bupati trenggalek arep nikahke koe karo den mas broto putraneSum : saestu pak? Ciyus? Miapah? Wah aku kudu dandan sing ayu ki ben mas broto seneng karoaku (dandan)nanging ing tengah pesta ana kabar menawa nikahe Suminten karo Raden mas broto dibatalke amarga broto wis nikh karo cempluk (angkat telpon), warok siman kaget banget ngertikedadean iku, ora pengin putrine Suminten retiSum : wonten napa pak? Kok bapak katon sedih?
WS : anu nduk.. mas broto…
 Sum : wonten nopo pak mas broto? ( Wajah panik)WS : nikahmu karo mas broto dibtalke nduk (menunduk menyesal)Sum : opo pak? Ra mungkin, jare mas broto bakal kawin karo aku, ora mungkin pak!, masbrotooo!! Mas brootooo!! (frustasi & menangis)WS : awas koe broto, arep tak pateni koe wis marai putriku sedih koyo ngene!!Bqanjur warok siman lunga menyang papane broto lan cemplukWS : He mas broto, metu koe, lawan karo aku!Br : lho wonten nopo to pak niki?WS : koe wis marai anakku setres goro2 koe, saiki mati koe!!Wong loro mau banjur padu, nanging ing tengahe padu suminten teko kalungan krupuk karodandan menorSum : eh bapak, kok rene ngopo pak? Wah mas broto, koe kok tego ninggal aku to mas! Ningora popo aku isih tresno karo koe hahahaha
 
Ibuke cempluk banjur metuI.Cem : eh ono opo to iki?WS : Niki bu, putrine kula edan, amerga den broto mboten siyos nikahi sumintenI.Cem : elae ndok mesakne, kenen tak tambani
“tombo teka loro lunga”
 Banjur iku suminten mariSum : loh nang ndi aku, pak pak kkok aku koyo nngene to pak? Nang ndi ikiWS : sukur nduk koe wis mari merga kedanan raden mas broto.. nak mas broto, sak niki sumintenpun sadar, lak mboten adil to menawa sumointen mboten mang dadosaken garwaBro : duh pripun gih pak, kula pun gadah cempluk jih, ning yow is lah saiki suminten takdadekake garwaku sing ke loroWS : la ngene lak ceto.. senin tekan rabu mbi cempluk, kemis tekan setu mbi suminten la ningpas minggu pie?#nyanyi bareng2 sing sedino kanggo sopo, sing sedino kanggo wong liya, sing sedino, kanggosopo, sing sedino kanggo wong liya